Senin, 12 November 2012

Jembatan Merah Surabaya


Gambar diatas merupakan Jembatan yang melewati Kalimas menuju Gedung Keresidenan Surabaya ini menjadi sarana perhubungan paling vital semasa zaman VOC dahulu kala. Kawasan Jembatan Merah merupakan daerah perniagaan yang mulai berkembang sebagai akibat dari perjanian Paku Buwono 2 dari Mataram dengan VOC pada 11 November 1743. Dalam perjanjian itu sebagian daerah pantai utara, termasuk Surabaya, diserahkan penguasaannya kepada VOC. Sejak saat itulah Surabaya berada sepenuhnya dalam kekuasaan Belanda yang kemudian disulap menjadi pusat perniagaan. 



Perubahan fisiknya terjadi sekitar tahun 1890-an, ketika pagar pembatasnya dengan sungai diubah dari kayu menjadi besi. Kini kondisi jembatan yang dulu dikenal dengan nama Roode Brug ini hampir sama persis dengan jembatan lainnya, hanya saja warna merah. Mengenai nama ‘Merah’ sebenarnya bukan karena warna jembatannya yang merah tapi karena dilokasi tersebut terjadi pertumpahan darah antara pejuang dengan penjajah. Di tempat ini juga Brigadir A.W.S Mallaby, pemimpin angkatan bersenjata Inggris yang telah menguasai Gedung Internationale Crediet en Verening Rotterdam atau Internatio tewas terbunuh di tangan arek-arek Suroboyo. A.W.S Mallaby tewas dikarenakan di lempar granat oleh arek-arek Suroboyo dan granat tersebut meledak berserta kendaraan yang ditumpangi A.W.S Mallaby.

Kejadian-kejadian yang memicu terjadinya pertumpahan darah di Jembatan tersebut yaitu :
  1. Kedatangan Tentara Inggris dan Belanda.
  2. Insiden Penyobekan bendera Belanda yang berada di Hotel Yamato atau sekarang bernama Hotel Majapahit.
  3. Tewasnya Brigradir Jendral A.W.S Mallaby.
Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya, Mayor Jenderal Robert Mansergh mengeluarkan ultimatum yang menyebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.

Ultimatum tersebut kemudian dianggap sebagai penghinaan bagi para pejuang dan rakyat yang telah membentuk banyak badan-badan perjuangan / milisi. Ultimatum tersebut ditolak oleh pihak Indonesia dengan alasan bahwa Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri, dan Tentara Keamanan Rakyat TKR juga telah dibentuk sebagai pasukan negara. Selain itu, banyak organisasi perjuangan bersenjata yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar yang menentang masuknya kembali pemerintahan Belanda yang memboncengi kehadiran tentara Inggris di Indonesia.

Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan berskala besar, yang diawali dengan pengeboman udara ke gedung-gedung pemerintahan Surabaya, dan kemudian mengerahkan sekitar 30.000 infanteri, sejumlah pesawat terbang, tank, dan kapal perang. Inggris kemudian membombardir kota Surabaya dengan meriam dari laut dan darat. Perlawanan pasukan dan milisi Indonesia kemudian berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari penduduk. Terlibatnya penduduk dalam pertempuran ini mengakibatkan ribuan penduduk sipil jatuh menjadi korban dalam serangan tersebut, baik meninggal maupun terluka.



Di luar dugaan pihak Inggris yang menduga bahwa perlawanan di Surabaya bisa ditaklukkan dalam tempo tiga hari, para tokoh masyarakat seperti pelopor muda Bung Tomo yang berpengaruh besar di masyarakat terus menggerakkan semangat perlawanan pemuda-pemuda Surabaya sehingga perlawanan terus berlanjut di tengah serangan skala besar Inggris.

Tokoh-tokoh agama yang terdiri dari kalangan ulama serta kyai-kyai pondok Jawa seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kyai-kyai pesantren lainnya juga mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat sipil sebagai milisi perlawanan (pada waktu itu masyarakat tidak begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kyai) sehingga perlawanan pihak Indonesia berlangsung lama, dari hari ke hari, hingga dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran skala besar ini mencapai waktu sampai tiga minggu, sebelum seluruh kota Surabaya akhirnya jatuh di tangan pihak Inggris.

Setidaknya 6,000 - 16,000 pejuang dari pihak Indonesia tewas dan 200,000 rakyat sipil mengungsi dari Surabaya. Korban dari pasukan Inggris dan India kira-kira sejumlah 600 - 2000 tentara. Pertempuran berdarah di Surabaya yang memakan ribuan korban jiwa tersebut telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang gugur dan rakyat sipil yang menjadi korban pada hari 10 November ini kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan oleh Republik Indonesia hingga sekarang.

Jembatan Merah menjadi saksi bisu atas perlawanan rakyat Surabaya pada 10 November 1945 dan di sungai tersebut sangat banyak para pejuang yang gugur dan terbawah arus sungai. Sungai yang mulanya berwarna kecoklatan berubah menjadi warna Merah darah dikarenakan saking banyaknya korban yang ada di sungai tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar